
Review Komik Chainsaw Man. Pada 11 Oktober 2025, komik Chainsaw Man kembali jadi pusat perhatian, bertepatan dengan dimulainya marathon tontonan ulang seri animasi di platform video besar hari ini, serta pengumuman adaptasi dua antologi cerita pendek baru yang akan tayang November mendatang. Hampir tujuh tahun sejak debutnya, karya Tatsuki Fujimoto ini terus berkembang, dengan film adaptasi arc Reze yang dijadwalkan tayang akhir bulan ini, memicu diskusi segar di kalangan penggemar tentang bagaimana kekerasan absurd jadi cermin masyarakat modern. Dengan lebih dari 26 juta kopi terjual secara global, Chainsaw Man bukan hanya manga shonen, tapi fenomena yang campur horor, humor, dan kritik sosial. Di tengah tren cerita gelap yang naik daun, artikel ini mereview esensi seri ini, dari plot liar hingga daya tariknya yang tak pudar, mengapa ia tetap wajib dibaca saat dunia butuh cerita yang tak terduga. BERITA BOLA
Ringkasan Singkat Komik Ini: Review Komik Chainsaw Man
Chainsaw Man mengikuti Denji, pemuda miskin yang hidup dari berburu setan untuk bayar utang ayahnya yang meninggal. Setelah bertemu Pochita—setan berbentuk anjing gergaji—Denji mati dan bangkit sebagai hybrid manusia-setan, dengan kepala berubah jadi gergaji raksasa saat tarik tali dada. Ia direkrut ke Divisi Pemburu Setan Keselamatan Umum, dipimpin Aki Hayakawa yang dingin dan Makima yang misterius, untuk lawan ancaman setan yang lahir dari ketakutan manusia seperti Setan Senjata atau Setan Gunung.
Serial ini terbagi dua bagian: Part 1 (2018-2020, 97 chapter, 11 volume) penuh aksi brutal di Tokyo modern, di mana Denji kejar mimpi sederhana—makan enak, tidur nyenyak, pegang payudara—tapi terjebak intrik besar melawan Setan Pengendali. Part 2 (2022-sekarang, di majalah digital) lompat waktu, ikuti Asa Mitaka yang hybrid dengan Yoru Setan Perang, saat Denji sekolah dan hadapi ancaman baru. Konflik utama campur pertarungan berdarah dengan twist emosional, seperti pengkhianatan dan hilangnya teman, penuh referensi budaya pop. Manga masih berlanjut dengan chapter bulanan, meninggalkan akhir terbuka di mana Denji terus bergulat antara kemanusiaan dan monster dalam dirinya.
Alasan Komik Ini Bisa Populer: Review Komik Chainsaw Man
Chainsaw Man meledak karena gaya naratif Fujimoto yang tak biasa: campur gore ekstrem dengan humor slapstick dan momen tulus, yang jarang di shonen konvensional. Diluncurkan 2018 di majalah mingguan, seri ini cepat naik daun berkat seni dinamis—panel-panel chaotic dengan garis tebal untuk ledakan darah dan close-up wajah absurd, membuat setiap pertarungan terasa liar tapi artistik. Tema kritik kapitalisme dan eksploitasi—Denji yang dijual seperti alat—resonan di era ekonomi tidak pasti, sementara karakter anti-hero seperti Power yang egois beri nuansa segar.
Popularitasnya melonjak setelah adaptasi animasi 2022, dengan penjualan volume melonjak tiga kali lipat, dan kini di 2025, film arc Reze serta antologi cerita pendek baru perkuat buzz. Di Barat, seri ini ranked tinggi di daftar manga terlaris, dengan komunitas online analisis simbolisme seperti gergaji sebagai metafor trauma. Hingga Oktober ini, marathon tontonan ulang dan trailer film tingkatkan engagement, buktikan Chainsaw Man tak hanya hit sesaat, tapi budaya yang tumbuh lewat meme dan cosplay. Singkatnya, ia populer karena beri hiburan kasar tapi pintar, bikin pembaca ketawa sambil mikir ulang soal “kebahagiaan” sederhana.
Sisi Positif dan Negatif dari Komik Ini
Sisi positif Chainsaw Man sangat mencolok: ia jadi masterclass naratif inovatif, dengan twist seperti identitas Makima yang ubah segalanya, beri pelajaran tentang manipulasi dan loyalitas tanpa terasa didaktik. Karakterisasi kuat—Denji sebagai everyman yang polos tapi tangguh, Aki yang tragis—buat pembaca invest emosional, sementara humor gelap dari situasi absurd seperti kontrak setan tambah kesegaran. Seni Fujimoto, dengan komposisi dramatis dan detail gore yang artistik, tingkatkan immersi, dan pacing Part 1 yang ketat seperti yang dipuji ulasan awal 2018. Secara budaya, seri ini dorong diskusi tentang mental health dan masyarakat, buatnya relevan untuk pembaca muda hadapi tekanan dewasa, dan inspirasi seniman indie coba gaya serupa.
Namun, ada sisi negatif yang tak terhindarkan, terutama di Part 2. Pacing melambat dengan chapter bulanan yang fokus introspeksi Asa, kadang terasa kurang aksi dibanding kegilaan Part 1, membuat sebagian pembaca frustasi seperti keluhan di forum pasca-chapter 150. Kekerasan grafis—pemotongan tubuh dan penyiksaan—bisa overwhelming bagi yang sensitif, meski bertujuan kritik, dan elemen seksualisasi minor seperti fetish Denji kadang dianggap murahan. Akhir Part 1 yang cliffhanger ekstrem beri rasa tidak puas awal, sementara di adaptasi film 2025, penggemar khawatir kompresi arc Reze kurangi kedalaman. Selain itu, minimnya diversity karakter bisa kurang inklusif bagi audiens global. Meski begitu, kekurangan ini kalah oleh keberanian Fujimoto secara keseluruhan.
Kesimpulan
Chainsaw Man tetap jadi gergaji raksasa di dunia manga 2025, dengan ringkasan petualangan Denji yang brutal, popularitas dari seni liar dan adaptasi segar, serta keseimbangan positif-negatif yang buatnya autentik. Seri ini ingatkan kita: kebahagiaan bisa lahir dari kekacauan, asal berani potong rantai masa lalu. Bagi pemula, mulai dari volume pertama—Anda akan keluar dengan tawa getir dan pertanyaan besar. Dengan film Reze akhir bulan ini dan antologi baru November, Chainsaw Man bukan akhir, tapi bab baru yang berdarah-darah. Jika Anda siap berputar, ambil gergaji—satu chapter pada satu waktu.
You may also like

Review Komik Death Note

Review Komik Mashle: Magic and Muscles

Leave a Reply