
Review Komik Death Note. Pada 19 Oktober 2025 ini, saat daun maple mulai berguguran di Tokyo, Death Note kembali mencuri perhatian dengan rilis one-shot manga baru karya Takeshi Obata yang diumumkan awal bulan ini—sebuah cerita pendek yang soroti Misa Amane dalam perspektif segar, memicu spekulasi revival penuh. Manga legendaris Tsugumi Ohba dan Obata, yang tamat 2006 setelah 108 chapter, kini dapat edisi kolektor baru sejak September, lengkap dengan seni ulang yang tajam. Di tengah game DEATH NOTE Killer Within yang tambah role baru musim panas lalu, dan pop-up shop di Yurakucho Marui yang tutup April, Death Note bukan sekadar thriller psikologis; ia adalah permainan pikiran abadi tentang kekuasaan dan moral. Dengan pengaruhnya yang masih dirasakan di genre cat-and-mouse modern, review ini kupas esensi komiknya secara ringkas: plot yang tegang, karakter yang ambigu, dan seni yang ikonik. Di era di mana cerita gelap mendominasi, Death Note tetap jadi patokan—santai di permukaan, tapi menusuk seperti pena maut. BERITA BASKET
Plot yang Menggigit: Dari Buku Maut ke Duel Intelektual: Review Komik Death Note
Premis Death Note sederhana tapi memabukkan: Light Yagami, siswa jenius SMA, temukan Death Note—buku supernatural yang bunuh siapa saja dengan tulis nama sambil bayangin wajahnya. Alih-alih panik, Light gunakan untuk bersihkan dunia dari penjahat, jadi Kira yang ditakuti global. Dari situ, cerita meluncur ke duel pikiran dengan L, detektif eksentrik yang buru Kira tanpa petunjuk fisik. Ohba bangun narasi bertahap: awal fokus pembunuhan anonim via TV, eskalasi ke arc Yotsuba di mana Light infiltrasi perusahaan curiga, penuh twist seperti identitas palsu dan jebakan rumit. Setiap chapter dorong ketegangan—tak ada aksi berlebih, tapi dialog tajam yang seperti catur verbal.
Di one-shot baru Obata Oktober ini, plot geser ke sisi Misa pasca-akhir manga, eksplor dampak jangka panjang tanpa ubah kanon utama. Ini perbaiki pacing akhir manga yang kadang terburu, dengan narasi lebih intim soal konsekuensi kekuasaan. Tak ada lubang cerita; setiap aturan Death Note—seperti batas umur atau efek kepemilikan—terungkap organik, dukung tema filosofis: apakah keadilan absolut butuh tirani? Bagi pembaca baru, mulai dari volume satu mudah, tapi hati-hati—plot ini nagih seperti racun lambat. Secara keseluruhan, cerita ajar bahwa kekuasaan korupsi pelan-pelan, relevan di 2025 saat isu vigilanteisme naik di media sosial.
Karakter yang Ambigu: Light, L, dan Bayang Moral: Review Komik Death Note
Yang bikin Death Note beda adalah karakternya—bukan hitam-putih, tapi abu-abu moral yang bikin debat panjang. Light, protagonis anti-hero, mulai sebagai idealis pintar yang ingin dunia lebih baik, tapi pelan-pelan jadi narsis haus penguasa—transformasinya gradual, dari monolog hati-hati soal “dunia baru” ke paranoia ekstrem. L, rivalnya, wakili kekacauan jenius: ia makan permen sambil susun teori, tapi di balik sikap cuek, ada kesepian mendalam yang bikin simpati. Dinamika mereka seperti cermin pecah—sama-sama brilian, tapi satu pilih cahaya palsu, satu gelap asli.
Pendukung seperti Misa Amane tambah lapisan: idol polos yang rela mati demi Light, tapi kepolosannya sembunyikan obsesi toksik. Near dan Mello, penerus L, ciptakan kontras di arc akhir—Near dingin logis, Mello impulsif emosional—bikin transisi pasca-L terasa segar. Di one-shot baru, Misa dapat spotlight lebih dalam, ungkap trauma pasca-kematian yang bikin karakternya lebih manusiawi. Ohba hindari stereotip; setiap orang punya motif egois, membuat pembaca ragu siapa “baik”. Di 2025, saat diskusi etika AI naik, karakter ini jadi cermin: kecerdasan tanpa empati bisa hancurkan segalanya. Mereka tak statis; evolusi mereka lewat keputusan kecil bikin invest emosional, seperti tonton tragedi Yunani versi modern.
Seni dan Narasi: Gaya Obata yang Dramatis dan Presisi
Seni Takeshi Obata adalah masterpiece visual: garis halus presisi untuk wajah Light yang tampan tapi dingin, kontras dengan panel dramatis saat kematian—mata melebar, bayang gelap yang simbolkan jiwa runtuh. Death Note digambarkan misterius: kulit hitam mengkilap dengan tulisan merah darah, bikin objeknya terasa hidup dan mengancam. Narasi Ohba tak linear; flashback pendek sisip di tengah interogasi, bangun misteri tanpa bikin pacing mandek, mirip skenario film noir. Dialog padat, penuh metafora seperti “pena lebih tajam dari pedang,” potong ketegangan dengan ironi halus.
Di edisi kolektor baru September 2025, seni ulang Obata tambah detail—shading lebih dalam untuk nuansa psikologis, seperti keringat Light saat jebak L. One-shot Oktober ini pertahankan gaya: panel splash untuk momen klimaks Misa, dengan komposisi simetris yang simbolkan keseimbangan rapuh. Obata main dengan sudut pandang unik—close-up mata saat tulis nama, tingkatkan rasa voyeur. Kekurangannya? Arc akhir kadang kurang visual dibanding awal, tapi spin-off baru perbaiki dengan fokus intim. Secara keseluruhan, seni ini tak cuma indah, tapi naratif: dukung tema dualitas, di mana keindahan sembunyikan kegelapan. Bagi fans manga, ini benchmark thriller—elegan tapi menusuk, filosofis tapi menghibur.
Kesimpulan
Death Note, dari manga 2003 hingga one-shot segar Obata di Oktober 2025, adalah karya Ohba dan Obata yang ubah genre psikologis jadi legenda abadi. Plotnya menggigit, karakternya ambigu, seninya presisi—semua campur jadi paket tegang yang eksplor batas moral lewat lensa pena maut. Di tengah edisi baru dan game update, komik ini ingatkan: kekuasaan absolut korupsi mutlak, tapi pertarungan pikiran tetap segar. Bagi pemula, mulai sekarang; bagi fans lama, one-shot ini janji nostalgia dengan twist. Santai aja, tapi siap: sekali baca, susah lupakan bayang Kira. Ohba dan Obata telah ciptakan legacy yang tak terhapus—seperti nama di Death Note.
You may also like

Review Komik Mashle: Magic and Muscles

Review Komik Kaiju No. 8

Leave a Reply